Berawal Dari kegagalan



ilustrasi: google.com

Sambil tersenyum datar, ia duduk sembari memainkan handphone-nya dan sepintas menikmati pemandangan danau depan Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia saat senja. Bagas Taruna Setiawan, ia adalah putra sulung dari dua bersaudara dan dibesarkan oleh sang ibunda seorang diri sejak ia masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Karena itu, ia juga tinggal serumah dengan eyangnya.
Kedua orang tuanya telah berpisah, tetapi Bagas kecil tidak terlalu menggubrisnya. Semasa sekolah, ia merupakan siswa yang cukup populer di kalangan temannya, sehingga tak jarang jadi pusat perhatian.
Dengan nada bicaranya yang tenang, cowok yang cenderung cuek itu masih teringat perkataan ibunya yang menyarankan untuk lebih banyak berteman dengan lawan jenis yang dirasa mampu meningkatkan semangat belajarnya. Tak heran, ia terkadang bersikap unik karena seringnya bergaul dengan “teman-temannya” dan juga bertingkah laku lembut walau sesekali.
Cowok kelahiran 9 November 1996 ini juga memiliki cita-cita yang tak kalah nyeleneh, awalnya ingin jadi dokter, bahkan yang lucunya juga bermimpi sebagai petinju. Sampai kemudian karena hobinya bermain game, Bagas merasa cocok sebagai pengembang permainan/ developer game. Setelah lulus SMA, ia memutuskan untuk kuliah dan mengambil studi Sistem Informasi di BSI (Bina Sarana Informatika).
Selang beberapa bulan, lama-kelamaan Bagas lelah dengan semua pelajaran yang ia tempuh dan terasa sulit baginya. Cita-citanya sebagai developer game terpaksa ia kubur dalam-dalam walaupun sangat mendambakannya.
Bagas pun akhirnya menyerah, beban pikiran, dan nilai mata kuliah yang semuanya anjlok. Nilai IP-nya (Indeks Prestasi) hanya 2.00 saja, belum lagi nilainya rata-rata mendapatkan E yang berarti gagal. Ia memilih untuk keluar dari kampus yang berat untuk dijalankannya dan menghibur diri dengan bermain game dan menonton anime dalam waktu cukup lama.
Waktu terus berjalan, cowok yang selalu tampil kasual ini lama-kelamaan jenuh akan kegiatannya, dan Bagas dengan penuh semangatnya mengikuti seleksi masuk PTN meski akhirnya gagal. Pun sempat kecewa karena tidak bisa mewujudkan keinginan ibunda tercinta untuk terus melanjutkan pendidikannya. Namun, ia tak patah arang sampai tes seleksi kedinasan ia ikuti.
 Penyataan nihil pun terus ia terima, hingga ia menemukan harapan terakhirnya, memilih PNJ (Politeknik Negeri Jakarta) berkat bantuan sepupunya yang berkuliah di Universitas Indonesia dan ikut seleksi mengambil Program Studi Jurnalistik.
Gayung pun bersambut, laki-laki berpostur tinggi besar ini gejolaknya berkobar kembali karena pernyataan panitia PNJ yang meneleponnya mengatakan, ia diterima di PNJ kampus Depok dengan Program Studi Jurnalistik pada 2016. Bagas memutuskan untuk menyewa rumah (kos) sekitar kampus karena jarak rumahnya yang cukup jauh, Pondok Aren, Tangerang Selatan.
Selama berkuliah dengan pengalaman dan studi yang baru, Bagas sangat beruntung karena ia tak salah pilih jurusan. Pernah suatu hari ia mengikuti tes TOEFL saat awal perkuliahan, ternyata Bagas memiliki skor tinggi, yakni 550. Terlebih, cowok berkacamata ini mantap terhadap Mata Kuliah Desain Grafis. Semangatnya meledak ketika mendesain majalah, mengedit video, dan fotografi, bahkan ia juga baik dalam hal tulis menulis.
Prestasinya kian meroket dibanding keadaannya yang dulu cenderung amblas, laki-laki yang mampu berbicara bahasa Inggris itu juga pernah menerima beasiswa selama kuliah dan sangat membantunya. Ia duduk di kelas PB F (Penerbitan F) meski awalnya pendiam dan terlihat kaku, lambat laun ia menunjukkan sifat aslinya yang unik. Bagas yang canggung pun berubah menjadi sosok menyenangkan dengan tingkah lakunya yang lembut, itulah yang membuat teman sekelasnya nyaman, terutama kalangan gadis.
Suasana kelas yang hangat meluluhkannya, apalagi banyak teman yang akrab selalu menyambutnya dan akhirnya berbaur. Walaupun terkadang ada saja situasi yang membuatnya kesal, ia tak pernah mengeluh.
Hebatnya, Bagas terus meraih peringkat pertama di kelas dengan nilai yang sangat memuaskan selama berkuliah Jurnalistik. Kendati demikian, tak membuatnya tinggi hati dan selalu bersikap unik yang justru membuat teman sekelasnya terhibur.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Aplikasi Kencan: Tinder vs Tantan

Lebih Baik “Diputuskan” atau “Memutuskan”?

Satu Jam Bersama Si Fighter Taekwondo